Hello para pembaca! Udah lama banget nih gw ngga nulis di blog gw ini hehe.. Beberapa bulan yang lalu gw dapet mention di twitter kalo ada orang yang menunggu post baru di blog gw ini, kaget dan seneng juga, semoga hal-hal yang gw tulis di sini bisa bermanfaat bagi teman-teman yang membaca. Btw sekarang gw udah bukan mahasiswa lagi, semoga gw jadi punya lebih banyak waktu untuk mengayunkan pena di sini.
Kali ini gw mau menulis mengenai hal yang ngga terlalu berat hehe.. Ini based on my personal experience dan cukup mengena di hati gw.
Jadi beberapa minggu yang lalu, gw diundang untuk makan bakso di rumah seorang teman dan senior lama orang Indonesia. Teman ini adalah teman saya ketika berorganisasi di PPI ON. Untuk yang ngga tau, PPI ON itu adalah Persatuan Pelajar Indonesia Osaka-Nara. Gw pernah diamanahkan menjadi ketua periode 2015/16. Nah teman ini juga pernah menjadi pengurus PPI ON, sudah berkeluarga, menikah dengan teman saya juga yang juga mantan pengurus hehe.. Sekarang mereka udah punya 1 anak, kerja di Toshiba dan Hitachi, greget deh pokoknya :)
Setelah makan bakso, kita punya waktu untuk ngobrol-ngobrol santai dengan temen cowo gw ini (kita kasih inisial mas A aja biar gampang). Mas A ini dan istrinya adalah lulusan S3 dari Osaka University. Untuk sedikit latar belakang aja, cari kerja di Jepang itu lumayan susah-susah gampang, tingkat kesulitan dipengaruhi beberapa faktor yang salah satunya kemampuan bahasa Jepang. Selama gw bertugas sebagai ketua PPI, banyak tuh teman-teman yang nanya tips-tips shukatsu (就活, cari kerja) di Jepang, curhat-curhat karena keunikan dan kesulitan tata cara shukatsu, atau minta tolong diterjemahin CV-nya. Ada juga cerita sedih teman harus pulang karena ngga dapet kerja, pokoknya lumayan rempong deh.
Nah karena mas A dan istrinya keren banget bisa kerja di perusahaan ternama di Jepang, pas ngobrol-ngobrol santai gw nanya donk ke dia penasaran gimana dulu prosesnya dari Osaka bisa sampai ke Tokyo, karena gw dulu yang duluan pindahan ke Tokyo, kira-kira begini percakapannya.
Gw: Wih kok lu keren sih sekarang bisa kerja di Toshiba, dulu gimana tuh prosesnya?
Mas A: Wah kan lu dulu yang post lowongannya Cos, wkwk (Orangnya emang suka ketawa dan bercanda)
Gw: What? Serius lo?
Mas A: iya dulu pernah di grup PPI, kayaknya itu elu deh.
Gw kaget dan seneng juga. Jujur gw juga ngga inget pernah ngepost lowongan Toshiba di grup PPI. Emang pas jadi ketua PPI itu, pastinya lu dapat banyak info dari pihak luar yang minta diteruskan ke anggota, karena komunitasnya lumayan besar, anggotanya sekitar 80-100 orang, sehingga info-info tersebut harus di pilah dan yang penting kita teruskan ke milis atau grup chat anggota. Tapi karena emang lumayan banyak, kita jadi emang forward aja, tanpa pikir terlalu panjang apakah info itu berdampak atau ngga.
Terus gw lanjut bertanya,
Gw: Terus istri lu gimana tuh prosesnya? Hebat juga loh kerja di Hitachi.
Mas A: Nah kalo dia dari TOP Career Cos, itu juga elu yang post haha.
Gw: ... (speechless)
Kalo si TOP Career ini gw inget! Emang pas gw mengemban tugas ada salah satu agentnya yang selalu ngontakin gw buat minta di-forward-in lowongan-lowongan atau job fair nya mereka. Tapi gw beneran ngga nyangka ada yang nyangkut kerjaan dari situ, soalnya cerita sedih cari kerja yang gw bilang di paragraf di atas juga berhubungan dengan TOP Career. Gw makin kaget dan pastinya seneng juga mendengar jawaban dari Mas A. Kaget dan seneng karena ternyata dari suatu hal kecil yang terkadang males gw dan tim pengurus lakuin, berdampak lumayan besar buat kehidupan seseorang.
Moral cerita: Terkadang lu tuh ngga tau, suatu hal positif yang lu lakukan, biarpun kecil, bisa berdampak besar untuk kehidupan orang lain. Gw bisa aja dengan mudah meng-ignore agent TOP Career atau membiarkan lowongan-lowongan kerja yang masuk ke inbox gw, karena waktu itu gw memang lumayan sibuk kuliah. Tapi dengan pengalaman kecil ini, gw jadi lebih termotivasi untuk melakukan hal-hal positif lainnya, yang mungkin gw ga tau apa efeknya di kemudian hari. Gw cuma berharap, keberadaan gw di dunia ini bisa berpengaruh positif buat orang-orang di sekitar gw, dan harapan inilah yang menjadi kunci motivasi gw untuk terus berkarya dari hari ke hari, sehingga pengalaman yang gw jabarkan di atas adalah pengalaman menyentuh dan berarti buat gw.
Khusus untuk para ketua dan pengurus PPI di luar sana yang masih mengemban tugas, gw berharap cerita ini juga bisa menjadi motivasi untuk terus berjuang dan berkarya, karena gw mengalami sendiri senang-susah dan sibuk-sibuknya jadi ketua PPI. Gw juga pernah berada dalam kondisi kritis dan aga stress dengan tekanan kesibukan kuliah dan beban jadi ketua PPI. Ini juga alasan kenapa gw mau menulis hal ini di blog gw ini hehe..
Tentunya, I also want to give the credits to my team! Setelah gw liat-liat lagi websitenya, ternyata masih ada gambar susunan kepengurusan pas gw mengemban tugas, untuk yang berminat liat bisa klik link di bawah ini.
Susunan kepengurusan PPI ON 2015/16
I really wish them doing well in life, karena jujur gw udah ngga terlalu sering ngontak mereka, apalagi setelah gw pindahan ke Tokyo. They were a great and really helpful team. I also wish Mas A and his family a happy life, biar tetep greget dan keren :). Terima kasih juga untuk kalian yang udah baca sampai habis dan sampai sekarang, apalagi untuk yang udah nungguin artikel baru di blog ini.
Always BE POSITIVE! :)
Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Saturday, September 21, 2019
Saturday, June 13, 2015
Irasshaimase! – Lessons from being a waiter in Japan
It’s
been almost three and a half year since I came to Japan as an international
student. I can’t say I’m still the same person as I was in Indonesia three
years ago. Ya, sometimes I unconsciously
behave like Japanese: bowing when greeting people, bow & re-bow &
re-re-bow when saying goodbye to older people (lol), keeping my schedule
packed, having dreams in Japanese, etc etc… But still I’m an Indonesian!
Indonesian who likes martabak (it IS very good food) no matter how delicious
sushi really is, considers traffic jam as a normal thing, and believes being
different is not a weird thing.
Have
I ever had a really serious culture shock? Not really. Most of the cases I just
don't really care if others do things not in a way I usually do. I do respect
differences, despite it is often hard for me to understand them. Surely it’s
easier for you to socialize with Japanese if you behave the “Japanese way”. I
think I’m still in the phase “understanding the Japanese way” in spite of my
fourth year living here. Ya, to understand a culture is not as easy as I
thought before.
Oh
wait?! I think I had a culture shock. It happened when I was in Bandung,
Indonesia while buying a set menu of a burger, French fries, and a cup of coke
in a very well known restaurant. So I ordered, paid, and received my burger and
coke. The waiter said to wait the French
fries at the table because they just started to cook it. So I happily went to a
table, started eating and talking with my friend. But after my burger was
finished, the French fries hadn’t come yet. So I got suspicious about this and
asked the waiter who told me to wait earlier. And the “shock” starts here. Here
is part of dialogue between the waiter and I (in Indonesian):
Me : “ Excuse me, but I haven’t got my
French fries yet.”
(Misi mba, saya belum dapat kentang
goreng saya nih.)
Waiter : “ Ah ya, forgot.”
(Oh ya, lupa.)
Me : &%’($#&#
Okay,
let me explain this first what made me feel annoyed that time. First, I was still okay with the fact that
she forgot my French fries. BUT, I don’t feel that she needed to tell me that
she forgot to deliver my French fries and no guilty feeling was shown from her
body language. I don't know if you feel that I exaggerate this too much but I
can guarantee you 99.99%, based on my experience, this kind of thing, won’t
happen in Japan.
Have
you ever been to Japan? Regardless what your answer is, I believe that not few
of us think that Japan is a developed country, Japan is better than your own
country, Japan is a nice place to live, and so on, and so on. Is that true? I
can’t tell you. But I do want to tell you that you should not believe something
without clear proofs or reasons (including this post). Ya, to think critically
is an important thing.
Before
it gets more serious (previous story is just an intro, haha), I posted my
journey travelling around Japan quite often and want to tell you where I got
the pocket money from haha. After having that “shock” and a notion, which says
that Japan offers the best service in the world, I became very curious what
happens inside Japanese business. And the easiest way for me to taste that is
to be a waiter here. Fyi, it is very common for student of even shakaijin (it’s
the way Japanese say to a person who is not a student and is working or looking
for a job) to have part time job. I have never tried to become a waiter in
Indonesia and it was my first experience (I have already quit because of some
reasons after 2 months) and I want to share what I learned here.
There’s
a notion that says customers are king in Japan. I can say this is fairly true.
Here are the basic rules when dealing with customers in Japan.
Basic Rule 1: The “special” language
Japanese
people have honorific language (尊敬語: sonkeigo) and humble language (謙譲語: kenjougo) to deal with customers (For me it is sort of different
language to “normal” nihongo, haha sorry I’m still a foreigner). It was pretty
frustrating for me at first but because they are regularly used I got used to
the standard sonkeigo and kenjougo. This rule is very basic and you will be
considered not “really” polite if you don’t use them. Okay to make it clearer I
will explain how this works.
Let’s
say you want to say “sorry to make you wait”. This is how you say it.
Saying
to a friend with the same age or younger (not formal):
お待たせ。 Omatase.
Saying to a senior or older people (sonkeigo):
お待たせしました。Omataseshimashita.
Saying to a customer (kenjougo):
お待たせいたしました。Omataseitashimashita.
Or if you want to make it humbler:
大変お待たせいたしました。Taihen Omataseitashimashita. (It means: very
sorry to …).
Frankly speaking, it is one of a quite simple
sonkeigo and kenjougo. Sometimes it has different vocab just to say pretty
simple thing like to say (言う becomes 仰る), to
go (行くbecomes参る). It
surprised me that Japanese have special short word for saying “sorry to make
you wait” but it surprised me again when I know that they have the humble form
to say it! I often use the sonkeigo one, but never really realized that the
waiters here use kenjougo. Well, I learned a lot to use them while working
there. Hufft…
Basic
Rule 2: No tipping!
It’s a common thing in the U.S or Indonesia to
tip. But in Japan tipping is really not their culture and sometimes considered
to be rude. Japanese think they have to calculate all the services they give
and give a definite price to their customers so they think they are fair to
every customer.
I did say this based on my personal experience.
So I was the only waiter who could speak English in restaurant where I worked.
Then came tourists from the U.S so I started serving them. After they finished,
they gave me 900yen as tip for good service :p. But what happened? The owner
knew it and took it from me! My question: who is more rude? I would say the
owner HAHAHA, just kidding. But really, it was quite hard for me who had my first
tip (in my ENTIRE life) with the same amount with my hour wage to get over
this. But honestly, I prefer no tipping culture because of some reasons I
couldn’t simply explain here or it will become a very long post.
Basic
Rule 3: No drinking, no eating, no sitting in front of customer
It also comes with other basic rules like no
chatting and no touching your mobile phone rule. It seems very simple rules but
after working several hours you want to drink water or sit for a while. You can
only do these things in the staff room or place where customer can’t see you.
Those are basic rules you need to know to deal
with customers. Now let’s go to more specific rules or rules I learned during
my part-time job.
Rule
4: The way saying “Irasshaimase”
Welcoming customer with saying “Irasshaimase” (いらっしゃいませ simply means “welcome”) is a very typical way in Japan. But it couldn’t be
more crucial after my restaurant owner told me that it was possible for
Japanese to leave a restaurant if waiters didn’t say “irasshaimase” quick
enough. “Irasshaimase” is not a meaningless welcome. It gives sign to the new
customers that you are ready to show them their seats because it’s not common
in Japan for customer to come and just sit where they like. You NEED to show
them where they sit so saying “Irasshaimase” is an important thing. It also
means that you know that there are customers waiting for you at the entrance so
the customers are also willing to wait. Very crucial, isn’t it?
They way of saying it can sometimes be
bothersome too. Basically your body has to face the customer (or at least turn
your face to the customer) which means you have to stop things you are doing.
It could be troublesome when they are few waiters and you are taking orders and
have to welcome new customers. You have to stop listening and welcoming the new
customers first and ask how many people are with them. It’s a very typical way
to welcome customers in Japan or they will just leave your restaurant or shop…
Waiters are also expected to send the customers
until the entrance when they have finished and leave the restaurant, also say
thank you (ありがとうございました) and please come again (またお越しくださいませ) with smile and a bow (lol).
Rule
5: The “both hand” rule
It is considered to be rude if you serve a
plate or a glass with a single hand. I have ever been scolded for this because
I didn’t know. You are expected to put your food tray somewhere else and serve
the food one by one. This rule is also applied when you are receiving money
(when there is no change tray) or returning the change.
Rule
6: Measure,
measure, measure!
Japanese people do like measuring (hahaha). I
was once responsible for making the drink and it was hard to remember all the
procedures to make the drinks and at last I had my own note about all the
procedures.
Japanese products are well known as good
quality products. Why? Because they have a very good quality control system and
follow a lot of procedures. Believe me, it’s not an easy task. Make 3 cups of
drink could be an easy task, but making 100 cups of drink with the same quality
is surely a hard task without clear procedures. I’m a type of person who tends
to break or at least question rules and procedures, so now I know why those
troublesome rules were created.
![]() |
Kirin Chuuhai Glass |
![]() |
Hot japanese sake can: chirori |
The choice of your words and sentences do
matter! Instead of saying “please wait a minute (少々お待ち下さい/humble
form)”, it is better to say, “I will soon come to you (すぐ参ります/humble
form)”. If you say please wait here and there the customer will think when they
will be served, but if you say “soon come to you” the customer will believe or
at least understand to wait if you are busy with something and it gives a good
impression also. It’s indeed very simple thing, but I had never thought it
deeply before worked as a waiter.
Besides those things, I also learned other
precious things such as the manner of using your time card, the technique of
distributing brochures, time management, and coping with customer complaint
(which sometimes is not because of your fault (~~”7)). I could say I had a
wonderful experience while working there.
![]() |
All the staffs minus one person sleeping in the secret chamber |
Sunday, February 15, 2015
Pengalaman Ambil SIM di Jepang
Dalam 4 bulan terakhir ini gw sedang berusaha buat ambil SIM A (普通) di Osaka. Sebenernya gw ngga yang in urgent buat ambil SIM ini tapi berhubung gw masih kuliah dan belom masuk lab gw berusaha buat ngambil, siapa tahu gw butuh nanti. Dan ternyata ngambil SIM di sini itu ngga segampang yang gw bayangkan.
Gw ga punya pembanding untuk mengatakan ngambil sim di Jepang itu "sesusah itu" apa ngga (gw bukan WNI yang baik ternyata, lol). Tapi pas polisinya bilang "Anda Lulus" pas tes gw yang ke 4 gw pengen bener-bener pengen teriak di depan muka polisinya (sekaligus ninju) karena gw ngga nyangka bakal dapet SIM hari itu. Sekarang gw mengerti kenapa orang di Jepang bisa nyetir selayaknya orang beradab.
Mungkin buat kalian yang pernah ke Jepang, kalian tahu bagaimana orang Jepang menyetir. Maybe it's hard to compare to Indonesia because of the traffic volume, tapi yang lo perlu tahu di sini pejalan kaki adalah raja selama si pejalan berada di posisi yang benar: trotoar, zebra cross, dll. Pengendara mobil akan berhenti kalo ada pejalan kaki yang nyebrang di zebra cross (yang ngga berlampu merah) dan kalo memang sampe terjadi kesalahan ngga ada cerita kayak di indo kalo pengendara roda 2 pasti menang (ini cuma image gw aja sih, lol), si pejalan kaki lah yang benar, karena pengendara mobil harus ngecek sebelum mereka lewat zebra cross.
Let me describe a lil bit about the background of this story. Bagi orang Jepang, ambil SIM mobil itu bukanlah sesuatu hal yang murah. Kebanyakan dari mereka akan memilih masuk ke sekolah mengemudi yang sampai dengan mendapat itu SIM bakal abis kira2 sekitar 300.000 yen atau sekitar 30 jt rupiah. Sebenernya masuk ke sekolah mengemudi itu bukanlah sebuah kewajiban (setahu gw) tapi kalo lo ngga masuk sekolah mengemudi, lo ga bisa sembarangan latihan mobil di sembarang tempat dan buat nyewa tempat latihan itu juga ngga murah, sekitar 10.000 yen atau 1 jt rupiah buat 1 jam latihan tanpa pembimbing dan kalo mau pembimbing (guru) tambah sekitar 4000 yen lagi.
Buat yang ngga masuk sekolah mengemudi, dan pengen ngambil SIM lo bakal di tes sama polisi yang ngurus perizinan ini, kalo di Indo mungkin ini samsatnya dan this is hell. Ngga sembarang orang punya mental kuat buat masuk sini haha. Emang harganya ngga semahal dengan lo masuk sekolah mengemudi. Buat biaya prosedur dan tes pertama lo harus bayar kira2 10.000 yen dan kalo lo gagal lo harus bayar sekitar 4000 yen buat tes ulang (kalo lo mau haha). Kenapa gw bilang ini hell, karena emang buat lulusnya susah banget. Biasanya dari 30an orang yang di tes di satu hari, yang lulus itu sekitar 5 orangan (berdasarkan pengalaman gw 4 kali tes di sana dan cerita dari para senior). Dan kalo lo ngga lulus2 yang lu masuk lingkaran keluar duit yang ngga ada ujungnya, endless loop 4000 yen haha.
Kalo lo masuk sekolah mengemudi, lo ngga bakal perlu di tes ama polisi samsat ini. Lo bakal di tes oleh guru dari sekolah mengemudi ini dan kemungkinan lo gagal juga kecil asal lo ngga berkendara parah2 amat. Kalo menurut gw ini juga menjadi alasan kenapa orang Jepang lebih memilih untuk ke sekolah mengemudi daripada belajar sendiri dan di tes sama polisi samsat ini.
Jadi apa yang gw lakukan? Di sini itu ada sistem yang namanya 外面切り替え (gaimen kirikae) buat foreigner atau transferring your country license to japanese driving license gampangnya dan gw apply yang ini. Ada tes tertulis dan tes praktik secara garis besar (tentu ada tes mata dll). Tes tertulisnya ngga begitu sulit dan buat orang yang pernah tinggal di Jepang ngga akan terlalu sulit buat lulus tes ini. Tes prakteknya ini yang aduh2 bikin kepala gw sakit (mungkin karena di Indo juga gw nembak kali ya haha).
Ini dia peta tesnya.
Itu ada bekas bekas coretan gw mengenai apa yang harus dilakukan di setiap spot nya, Mungkin gw bisa jelasin sedikit spot2 yang cukup lucu buat di ceritain tapi ga cukup lucu kalo lo gagal gara2 ga ngelakuin ini.
1. 安全確認 anzen kakunin atau safety check
Sebelum lo masuk mobil, lo harus ngecek mobil lo dulu. lo harus liat bannya kempes atau ngga. Lo harus liat dibawah mobil lo ada kucing apa ngga (serius!). Lo harus liat kalo mobil lo parkir di tempat yang bener apa ngga. Paling ngga lo harus sekali muterin itu mobil. Yang paling bikin kesel itu lo harus memperagakannya secara pura2 hahaha. Mana ada sih orang yang mau naik mobil ngecek dulu di bawah mobilnya ada kucing apa ngga. Gw pernah denger pendapat si polisi mengenai ini. Dia bilang, "kalo di sini aja lo pada udah ngga ngikutin aturan di jalanan juga pasti kalian lebih ngasal lagi". Emang bener sih, dan gw menyetujui itu biarpun kesel. Ya jadi kalo lo ngga melakukan ini selesai lah 4000 yen lo tanpa lo naik ke mobil tes.
2. 止まれ tomare atau stop sign
Di Indo juga ada stop sign yang warnanya merah atau tanda stop yang di cat di permukaan jalan. Apa yang gw lakukan kalo di Indo adalah menganggapnya sebagai sign yang berlebih. Nobody follows! Kalo lo ikutin pun dengan macetnya di jakarta lo pasti udah di tintinin (klakson maksud gw haha) dari belakang yang membuat lo tambah kesel. Gw ga bilang di Jepang orang juga bener2 stop liat sign ini. Tapi mereka paling ngga melambat ketika melihat sign ini. Dan kalo di test ini lo ngga berhenti (3 detik, so it's a total stop) atau berhenti melewati garis batas putih di depannya. Selesai lah 4000 yen lo.
3. selebihnya adalah hal2 detil yang emang kalo lo pikir2 lagi sebenernya emang harus dilakukan tapi kecil untuk kemungkinannya untuk dilakukan saat mengemudi. Kayak nengok kebelakang saat ganti jalur, liat kiri kanan di perempatan dll.
Sekarang gw mau cerita 3 kegagalan gw saat di samsat Jepang ini yang bikin gw kesel.
1. Tes pertama gw gagal karena gw ngga liat kiri kanan pas di perempatan utama yang ada di peta. Padahal itu IJO bro IJO! haha okay karena hari itu gw masih hari pertama gw masih manggut2 pas dibilangin sama polisinya. Sisanya dia bilang belokan kiri gw kurang kecil (melebar) dan gw ngga liat ke kanan pas mau belok kiri (omg).
2. 4000 yen kedua gw menghilang karena roda belakang gw naik ke trotoar pas keluar dari S-curve. I never expected I would fail at that spot. Fyi, s curve itu adalah jalan s yang kecil hanya cukup satu mobil dan trotoarnya itu sangat pendek. Jadi kalo ngga hati2 pas keluar dari jalan kecil itu dan roda belakang lo naik. Menguap lah 4000 lo. Sisanya dia bilang gw ngga nengok ke belakang pas gw mundur, yang ini masih oke lah (but u know there was no body except me taking the test, lol). Sebenernya di bandingin S-curve ada yang namanya crank, itu yang kalo di peta di sampingnya s-curve yang kayak letter L. Itu jalan kecil yang samping2 nya ada pole bermagnet. Jadi kalo mobil lo sampe nyentuh polenya, polenya akan bergerak dan menguap juga lah duit lo.
3. Ini yang paling gw ga suka dari 2 cara lainnya duit gw menguap. The proctor just simply said, "u are not staying on the (really) left". Wtf man?! Di indo pun kita nyetir di kiri! (Ya maksud dia bener2 di kiri). Pas dia nyetop gw di sini gw udah kesel banget. Dia bilang ke gw tau ngga alasannya, dan karena bener2 kesel gw udah ga mau jawab haha. Ya, di jepang pengendara sepeda emang banyak dan kalo lo ngga bener2 nyetir di kiri, memungkinkan pesepeda dan pengendara motor buat nyelip di kiri. Tp hari itu gw aware untuk nyetir di sebelah kiri dan begitulah kegagalan gw yang terakhir.
Sebenernya gw lulus 4 kali itu udah cukup cepet (spesial thanks to my Senior: Yusri Lukman for the guidance) karena ada di sana yang belom lulus 19 kali katanya haha. Maybe he doesnt know how to drive and doesnt have any ideas what kind of test he is into.
Jujur kalo gw cuma mikir kepentingan pribadi dan sesaat, sistem samsat di Indo yang bisa tempel tempelan itu adalah sistem yang patut dipelihara. Tapi kalo berpikir sebagai WNI (ceilah) dan berpikir panjang udah saatnya kita sebagai warga Indo buat berbenah di sana sini. Gw ngerti masalah yang ada di Indo emang ngga sesederhana hanya mengenai perizinan SIM, ini udah menyangkut budaya, sosial. dll dkk dst dan apa pun juga terserah lo. Tp mungkin ada hal-hal kecil yang kita bisa lakukan dengan memusnahkan (manusia kayak gw, eh) kebiasaan tempel menempel tembak menembak dll. Gw tau sekecil ini pun akan susah dilakukan karena buat warga keturunan (C*na) Tionghoa kayak gw ada stigma kalo kami ngga akan lulus kalo ngga ada pelurunya itu haha.
Dan di sini itu lo kalo baru dapet sim, lo harus tempel di bagian depan dan belakang mobil dengan sticker beginner driver yang tandanya kayak ini selama setahun.
Ini adalah masa pendidikan di mana di SIM lo terdapat 3 poin. Kalo lo melanggar dan habis poin lo, lo harus ikut kelas pengajaran untuk mengemudi dan harganya kira2 14000 yen. Dan lo akan dapat 3 poin lagi. Dan kalo abis lagi, di tes lagi deh lo sama om om polisi samsat yang mukanya nyebelin itu haha. We can go back to the endless loop guys.
Well ini sebagian kecil pengalaman gw di negara orang yang bisa gw bagikan ke temen2. Semoga memberi sedikit pencerahan ke temen2 kalo membangun sebuah sistem transportasi kayak di negara2 maju itu bukan cuma sekedar bangun itu bangun ini, kurang itu kurang ini. Indonesia itu bukan lah sekedar gedung sekedar fasilitas megah atau apapun, Indonesia itu adalah orangnya (mental orangnya) dan orangnya itu adalah kita2 juga. Dan proses itu sudah dimulai dari pemberian SIM atau mungkin sebelumnya.
Please leave any comments daannnn sekian dan terima kasih!
Useful links:
1. General Info from Osaka City
2. Guide Book
Gw ga punya pembanding untuk mengatakan ngambil sim di Jepang itu "sesusah itu" apa ngga (gw bukan WNI yang baik ternyata, lol). Tapi pas polisinya bilang "Anda Lulus" pas tes gw yang ke 4 gw pengen bener-bener pengen teriak di depan muka polisinya (sekaligus ninju) karena gw ngga nyangka bakal dapet SIM hari itu. Sekarang gw mengerti kenapa orang di Jepang bisa nyetir selayaknya orang beradab.
Mungkin buat kalian yang pernah ke Jepang, kalian tahu bagaimana orang Jepang menyetir. Maybe it's hard to compare to Indonesia because of the traffic volume, tapi yang lo perlu tahu di sini pejalan kaki adalah raja selama si pejalan berada di posisi yang benar: trotoar, zebra cross, dll. Pengendara mobil akan berhenti kalo ada pejalan kaki yang nyebrang di zebra cross (yang ngga berlampu merah) dan kalo memang sampe terjadi kesalahan ngga ada cerita kayak di indo kalo pengendara roda 2 pasti menang (ini cuma image gw aja sih, lol), si pejalan kaki lah yang benar, karena pengendara mobil harus ngecek sebelum mereka lewat zebra cross.
Let me describe a lil bit about the background of this story. Bagi orang Jepang, ambil SIM mobil itu bukanlah sesuatu hal yang murah. Kebanyakan dari mereka akan memilih masuk ke sekolah mengemudi yang sampai dengan mendapat itu SIM bakal abis kira2 sekitar 300.000 yen atau sekitar 30 jt rupiah. Sebenernya masuk ke sekolah mengemudi itu bukanlah sebuah kewajiban (setahu gw) tapi kalo lo ngga masuk sekolah mengemudi, lo ga bisa sembarangan latihan mobil di sembarang tempat dan buat nyewa tempat latihan itu juga ngga murah, sekitar 10.000 yen atau 1 jt rupiah buat 1 jam latihan tanpa pembimbing dan kalo mau pembimbing (guru) tambah sekitar 4000 yen lagi.
Buat yang ngga masuk sekolah mengemudi, dan pengen ngambil SIM lo bakal di tes sama polisi yang ngurus perizinan ini, kalo di Indo mungkin ini samsatnya dan this is hell. Ngga sembarang orang punya mental kuat buat masuk sini haha. Emang harganya ngga semahal dengan lo masuk sekolah mengemudi. Buat biaya prosedur dan tes pertama lo harus bayar kira2 10.000 yen dan kalo lo gagal lo harus bayar sekitar 4000 yen buat tes ulang (kalo lo mau haha). Kenapa gw bilang ini hell, karena emang buat lulusnya susah banget. Biasanya dari 30an orang yang di tes di satu hari, yang lulus itu sekitar 5 orangan (berdasarkan pengalaman gw 4 kali tes di sana dan cerita dari para senior). Dan kalo lo ngga lulus2 yang lu masuk lingkaran keluar duit yang ngga ada ujungnya, endless loop 4000 yen haha.
Kalo lo masuk sekolah mengemudi, lo ngga bakal perlu di tes ama polisi samsat ini. Lo bakal di tes oleh guru dari sekolah mengemudi ini dan kemungkinan lo gagal juga kecil asal lo ngga berkendara parah2 amat. Kalo menurut gw ini juga menjadi alasan kenapa orang Jepang lebih memilih untuk ke sekolah mengemudi daripada belajar sendiri dan di tes sama polisi samsat ini.
Jadi apa yang gw lakukan? Di sini itu ada sistem yang namanya 外面切り替え (gaimen kirikae) buat foreigner atau transferring your country license to japanese driving license gampangnya dan gw apply yang ini. Ada tes tertulis dan tes praktik secara garis besar (tentu ada tes mata dll). Tes tertulisnya ngga begitu sulit dan buat orang yang pernah tinggal di Jepang ngga akan terlalu sulit buat lulus tes ini. Tes prakteknya ini yang aduh2 bikin kepala gw sakit (mungkin karena di Indo juga gw nembak kali ya haha).
Ini dia peta tesnya.
![]() |
Garis biru adalah garis untuk lo membiasakan diri dengan mobil. Garis merah adalah jalur penilaian. Startnya mulai dari kiri bawah pangkal garis biru. |
Itu ada bekas bekas coretan gw mengenai apa yang harus dilakukan di setiap spot nya, Mungkin gw bisa jelasin sedikit spot2 yang cukup lucu buat di ceritain tapi ga cukup lucu kalo lo gagal gara2 ga ngelakuin ini.
1. 安全確認 anzen kakunin atau safety check
Sebelum lo masuk mobil, lo harus ngecek mobil lo dulu. lo harus liat bannya kempes atau ngga. Lo harus liat dibawah mobil lo ada kucing apa ngga (serius!). Lo harus liat kalo mobil lo parkir di tempat yang bener apa ngga. Paling ngga lo harus sekali muterin itu mobil. Yang paling bikin kesel itu lo harus memperagakannya secara pura2 hahaha. Mana ada sih orang yang mau naik mobil ngecek dulu di bawah mobilnya ada kucing apa ngga. Gw pernah denger pendapat si polisi mengenai ini. Dia bilang, "kalo di sini aja lo pada udah ngga ngikutin aturan di jalanan juga pasti kalian lebih ngasal lagi". Emang bener sih, dan gw menyetujui itu biarpun kesel. Ya jadi kalo lo ngga melakukan ini selesai lah 4000 yen lo tanpa lo naik ke mobil tes.
2. 止まれ tomare atau stop sign
Di Indo juga ada stop sign yang warnanya merah atau tanda stop yang di cat di permukaan jalan. Apa yang gw lakukan kalo di Indo adalah menganggapnya sebagai sign yang berlebih. Nobody follows! Kalo lo ikutin pun dengan macetnya di jakarta lo pasti udah di tintinin (klakson maksud gw haha) dari belakang yang membuat lo tambah kesel. Gw ga bilang di Jepang orang juga bener2 stop liat sign ini. Tapi mereka paling ngga melambat ketika melihat sign ini. Dan kalo di test ini lo ngga berhenti (3 detik, so it's a total stop) atau berhenti melewati garis batas putih di depannya. Selesai lah 4000 yen lo.
3. selebihnya adalah hal2 detil yang emang kalo lo pikir2 lagi sebenernya emang harus dilakukan tapi kecil untuk kemungkinannya untuk dilakukan saat mengemudi. Kayak nengok kebelakang saat ganti jalur, liat kiri kanan di perempatan dll.
Sekarang gw mau cerita 3 kegagalan gw saat di samsat Jepang ini yang bikin gw kesel.
1. Tes pertama gw gagal karena gw ngga liat kiri kanan pas di perempatan utama yang ada di peta. Padahal itu IJO bro IJO! haha okay karena hari itu gw masih hari pertama gw masih manggut2 pas dibilangin sama polisinya. Sisanya dia bilang belokan kiri gw kurang kecil (melebar) dan gw ngga liat ke kanan pas mau belok kiri (omg).
2. 4000 yen kedua gw menghilang karena roda belakang gw naik ke trotoar pas keluar dari S-curve. I never expected I would fail at that spot. Fyi, s curve itu adalah jalan s yang kecil hanya cukup satu mobil dan trotoarnya itu sangat pendek. Jadi kalo ngga hati2 pas keluar dari jalan kecil itu dan roda belakang lo naik. Menguap lah 4000 lo. Sisanya dia bilang gw ngga nengok ke belakang pas gw mundur, yang ini masih oke lah (but u know there was no body except me taking the test, lol). Sebenernya di bandingin S-curve ada yang namanya crank, itu yang kalo di peta di sampingnya s-curve yang kayak letter L. Itu jalan kecil yang samping2 nya ada pole bermagnet. Jadi kalo mobil lo sampe nyentuh polenya, polenya akan bergerak dan menguap juga lah duit lo.
3. Ini yang paling gw ga suka dari 2 cara lainnya duit gw menguap. The proctor just simply said, "u are not staying on the (really) left". Wtf man?! Di indo pun kita nyetir di kiri! (Ya maksud dia bener2 di kiri). Pas dia nyetop gw di sini gw udah kesel banget. Dia bilang ke gw tau ngga alasannya, dan karena bener2 kesel gw udah ga mau jawab haha. Ya, di jepang pengendara sepeda emang banyak dan kalo lo ngga bener2 nyetir di kiri, memungkinkan pesepeda dan pengendara motor buat nyelip di kiri. Tp hari itu gw aware untuk nyetir di sebelah kiri dan begitulah kegagalan gw yang terakhir.
Sebenernya gw lulus 4 kali itu udah cukup cepet (spesial thanks to my Senior: Yusri Lukman for the guidance) karena ada di sana yang belom lulus 19 kali katanya haha. Maybe he doesnt know how to drive and doesnt have any ideas what kind of test he is into.
Jujur kalo gw cuma mikir kepentingan pribadi dan sesaat, sistem samsat di Indo yang bisa tempel tempelan itu adalah sistem yang patut dipelihara. Tapi kalo berpikir sebagai WNI (ceilah) dan berpikir panjang udah saatnya kita sebagai warga Indo buat berbenah di sana sini. Gw ngerti masalah yang ada di Indo emang ngga sesederhana hanya mengenai perizinan SIM, ini udah menyangkut budaya, sosial. dll dkk dst dan apa pun juga terserah lo. Tp mungkin ada hal-hal kecil yang kita bisa lakukan dengan memusnahkan (manusia kayak gw, eh) kebiasaan tempel menempel tembak menembak dll. Gw tau sekecil ini pun akan susah dilakukan karena buat warga keturunan (C*na) Tionghoa kayak gw ada stigma kalo kami ngga akan lulus kalo ngga ada pelurunya itu haha.
Dan di sini itu lo kalo baru dapet sim, lo harus tempel di bagian depan dan belakang mobil dengan sticker beginner driver yang tandanya kayak ini selama setahun.
Ini adalah masa pendidikan di mana di SIM lo terdapat 3 poin. Kalo lo melanggar dan habis poin lo, lo harus ikut kelas pengajaran untuk mengemudi dan harganya kira2 14000 yen. Dan lo akan dapat 3 poin lagi. Dan kalo abis lagi, di tes lagi deh lo sama om om polisi samsat yang mukanya nyebelin itu haha. We can go back to the endless loop guys.
Well ini sebagian kecil pengalaman gw di negara orang yang bisa gw bagikan ke temen2. Semoga memberi sedikit pencerahan ke temen2 kalo membangun sebuah sistem transportasi kayak di negara2 maju itu bukan cuma sekedar bangun itu bangun ini, kurang itu kurang ini. Indonesia itu bukan lah sekedar gedung sekedar fasilitas megah atau apapun, Indonesia itu adalah orangnya (mental orangnya) dan orangnya itu adalah kita2 juga. Dan proses itu sudah dimulai dari pemberian SIM atau mungkin sebelumnya.
Please leave any comments daannnn sekian dan terima kasih!
Useful links:
1. General Info from Osaka City
2. Guide Book
Thursday, July 3, 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)